Selamat Datang Para Pembaca Setia

Senin, 11 April 2011

Perubahan Paradigma Administrasi Negara

1.Jelaskan secara singkat tentang paradigma lama administrasi Negara dan jelaskan tentang perubahan paradigma lama menjadi paradigma baru.
2.Kenapa program-program baik mengenai bantuan teknik maupun bantuan administrasi hasilnya tidak seperti yang kita harapkan? Jelaskan pendapat saudara dan beri contoh.

1. Merupakan awal perkembangan study Administrasi negara Dengan tokoh Wodrow Wilson yang terkenal dengan konsepnya yaitu Dikotomi Politik-Administrasi. Proses pembuatan kebijakan adalah proses politik sedangkan pelaksanaan kebijakan adalah proses administrasi.
Istilah publik dalam Administrasi Negara Lama diartikan sebagai negara sehinggga membuat administrasi negara terfokus pada organisasi dan manajemen internal dari aktifitas-aktifitas pemerintah, seperti anggaran negara, manajemen kepegawaian, dan pelayanan jasa.
Perkembangan paradigma administrasi Negara lama:
1) Paradigma 1: Dikotomi Politik dan Administrasi
2) Paradigma 2: Prinsip – Prinsip Administrasi
3) Paradigma 3: Administrasi Negara sebagai Ilmu Politik
4) Paradigma 4: Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi
5) Paradigma 5: Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara
Muncul pada tahun 1970-an, Konsep ini merupakan kritik terhadap konsepparadigma administrasi negara lama. Pada dasarnya administrasi publik baru itu ingin mengetengahkan bahwa administrasi tidak boleh bebas nilai dan harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Frederickson (1971), seorang pelopor gerakan ini lebih tegas lagi menyatakan bahwa administrasi publik harus memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (social equity) ke dalam konsep administrasi. Ia bahkan menegaskan bahwa administrasi tidak dapat netral. Dengan begitu, 3 administrasi publik harus mengubah pola pikir yang selama ni menghambat terciptanya keadilan sosial. Kehadiran gagasan-gagasan baru itu menggambarkan lahirnya paradigma baru dalam ilmu administrasi.

2 Dalam menjelaskan program-program mengenai bantuan teknik maupun bantuan administrasi yang hasilnya tidak seperti yang kita harapkan, saya berikan contohnya secara langsung terkait program bantuan Tunai Langsung.
Secara operasional perundang-undangan sebagai dasar pijak pelaksanaan program BLT adalah sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kurun waktu 2004-2009, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang diantaranya memuat target penurunan angka kemiskinan dari 16,7% pada tahun 2004 menjadi 8,2% pada tahun 2009. Dimana target tersebut dianggap tercapai jika daya beli penduduk terus ditingkatkan dan dikembangkan secara berkelanjutan. Wujud nyata dari orientasi RPJM ini dan didorong oleh membengkaknya subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) akibat dari meningkatnya harga minyak mentah di pasar Internasional, yang tentu pula mempengaruhi harga BBM dalam negeri sejak awal Maret 2005, kemudian mempengaruhi juga kenaikkan harga barang-barang pokok sehari-hari (Sembako), yang pada gilirannya memperlemah daya beli masyarakat, maka lahirlah Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 12 Tahun 2005, tentang “Bantuan Langsung Tunai kepada rumah tangga-rumah tangga miskin”, yang dikeluarkan pada tanggal 10 September 2005. Dimana pembahasan lebih lanjut pada taraf pelaksanaannya melalui Rapat koordinasi (Rakor) tingkat Menteri pada tanggal 16 September 2005, yang memandang bahwa pelaksanaan BLT sudah siap dilaksanakan, maka berlangsunglah program ini pada bulan Oktober 2005.
Tetapi Hasil dan realisasi program BLT banyak mengalami kendala-kendala, persoalan-persoalan bahkan kekurangan-kekurangan. Beberapa contoh tentang hasil dan realisasi itu dapat dilihat dalam beberapa kutipan sebagai berikut :
 “Bantuan Langsung Tunai Dipotong Rp.70.000,00 Untuk Pembuatan KTP dan Subsidi Silang. Belasan ribu keluarga miskin (gakin) yang ada di kota Tasikmalaya, Rabu (19/10) antre di beberapa kantor kelurahan untuk mencairkan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Beberapa warga menjelaskan, uang Rp.300.000,00 dipotong Rp. 70.000,00. Potongan tersebut, masing-masing Rp. 20.000,00 untuk keperluan pengurusan KTP dan kartu keluarga. Sisanya Rp. 50.000,00 untuk subsidi warga lain yang dianggap miskin tapi tidak mendapat BLT.
 “Kisruh Penyaluran Dana SLT (1). Mundur sebagai Ketua RT daripada Diamuk Massa. Karnoji sudah 29 tahun menjabat ketua RT 04 RW 03 di desa Pagejugan, kecamatan Brebes, kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Selama mengabdikan diri menjadi ketua RT, Karnoji tidak berharap gaji karena ia semata-mata ingin mengabdi. Akan tetapi, ketika pekan lalu, setelah sejumlah warganya mendatangi rumahnya dan melontarkan kata-kata kotor kepada dirinya, Karnoji pun tak tahan lagi dan memilih mengundurkan diri. Bersama empat ketua RT lainnya di desa yang sama, Karnoji menyerahkan stempel RT. Mereka mengaku tidak tahan dengan tuduhan warga, yang menyebut tidak akurat mendata warga yang menerima dana kompensasi BBM di wilayahnya. Daripada keselamatan keluarganya terancam, Karnoji memilih mundur sebagai ketua RT.
 “Pertaruhan PT Pos Indonesia. Tercatat enam orang rata-rata berusia 70 tahun meninggal dunia ketika sedang mengantre pencairan bantuan langsung tunai. Antre yang berujung kematian itu sungguh memilukan dan memalukan. Untuk menghindari kejadian ini terulang, PT Pos menentukan hari pengambilan BLT untuk setiap desa secara bergilir. Batas waktu pencairan diundur dari 15 Desember menjadi 31 Desember 2005.
Demikianlah gambaran Hasil dan realitas BLT dalam program pemerintahan SBY-JK, yang tidak sedikit memetik reaksi dan persoalan. Pola kebijakan pemerintahan SBY-JK seperti yang termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kurun waktu 2004-2009, yang mengedepankan upaya peningkatan daya beli masyarakat sebagai tujuan menjawab problem kemiskinan di Indoensia, yang kemudian melahirkan program BLT adalah sebuah pendekatan pemecahan problem kemiskinan yang sangat parsial, dan karena itu hanya mempersempit sebuah problem kemiskinan yang sebenarnya sangat luas jangkauannya. pengalaman realisasi program BLT di Indonesia yang mengandung banyak cacat nilai inilah, harus menjadi suatu pengalaman yang berharga untuk segala kebijakan pemerintah di masa depan agar menjadi lebih baik dan lebih menyentuh akar-akar persoalan dari problem kemiskinan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar