Selamat Datang Para Pembaca Setia

Senin, 11 April 2011

Kepemimpinan

1.Macam elit/pemimpin yang muncul dalam suatu masyarakat atau di suatu daerah/wilayah berdasarkan empat problema fungsional (talcot Parson).
a. Goal Attachment (fungsi ketatanegaraan)
Bahwa seiring dengan perkembangan ketatanegaraan, secara umum yang terjadi di Indonesia telah banyak terjadi pemekaran wilayah. Antara lain munculnya propinsi baru, kabupaten baru, kecamatan baru, bahkan sampai pembentukan desa baru. Perubahan semacam itu menyebabkan munculnya kepemerintahan yang baru di daerah bentukan baru tersebut. Seperti kepala daerah baru, gubernur baru, camat, kepala desa dimana membutuhkan banyak perangkat pemerintahan. Sehingga hal ini menjadi alasan munculnya para pemimpin baru.

b. Adaptasi (fungsi ekonomi)
Perkembangan ekonomi yang terjadi sekarang ini telah banyak memunculkan aktivitas-aktivitas ekonomi baru. Perkembangan dari ekonomi tradisional menuju ekonomi modern yang terlihat dari terjadi penanaman modal dimana-mana (bahkan dari luar negeri/ asing ke dalam negeri dan ke daerah) sehingga terbentuklah pola tatanan ekonomi baru di masyarakat.
c. Integrasi dan pemeliharaan pola (fungsi hukum, parpol, kelompok kepentingan)
Proses integrasi dan pemeliharaan pola yang terjadi adalah di bidang hukum, politik dan kelompok kepentingan. Dalam bidang hukum ini semakin banyaknya para lulusan perguruan tinggi di bidang hukum, menyebabkan munculnya para pengacara, ahli hukum dan advokat baru dan juga para hakim. Dalam bidang politik pun demikian, munculnya partai baru semenjak reformasi tahun1998 tentunya juga memunculkan para petinggi/ elit partai. Beberapa partai baru antara lain partai demokrat, partai PDI perjuangan, partai keadilan sejahtera (PKS) dan lain sebagainya dimana pada akhirnya banyak munculah pemimpin baru elit partai politik mulai dari pemimpim umum. Selain itu, munculnya pemimpin pada kelompok atau perkumpulan ini terlihat semakin banyak berdirinya lembaga swadaya masyarakat (LSM) di tengah-tengah masyarakat yang berorientasi baik sosial maupun ekonomi
d. Perbedaan ketegangan (fungsi guru, ulama, seniman)
Guru, ulama dan seniman ini memiliki andil yang penting dalam kehidupan bermasyarakat di Kabupaten Brebes. Hal ini terlihat dari pentingnya peran guru sebagai pencetak generasi muda pemimpin bangsa dengan mendidik anak-anak sekolah. Selain itu, ulama berperan sebagai pemimpin spiritual di masyarakat setempat yang berusaha untuk mengajarkan dan menerapkan ajaran dan pola-pola keagamaan di masyarakat. Sedangkan seniman ini turut memberikan andil dalam bidang kreatifitas dalam bidang kesenian daerah.

2. Analisislah kenapa sekarang ini elit kasunanan/ kasultanan tersingkir atau kenapa elit kasultanan lebih bisa bertahan dibandingkan elit kasunanan.
Ada 4 faktor jatuhnya elit :
1. Konservatisme
“Dalam politik, elit memiliki kecenderungan bahkan keharusan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada sisi lain, konservatisme diperlukan untuk yang sudah mapan. Di sisi yang lain, elit juga harus peka terhadap perkembangan-perkembangan baru.
PascaSunan Pakubuwono XII ‘mangkat’ beberapa waktu lalu (11 Juni 2004), terjadi perebutan kekuasaan ‘siapa yang berhak menjadi raja’. Peristiwa perebutan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro Sudibyo Raja Putra Narendra Mataran VIII atau disingkat Paku Buwono XIII, membuat kalangan kerajaan terpecah menjadi dua bagian, yakni antara pendukung Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi dan KGPH Tedjowulan.
Keduanya merasa mempunyai hak untuk menduduki tahta kerajaan. Peristiwa ini secara tidak langsung mengingatkan masyarakat Indonesia dengan ‘sejarah kelam’ yang terjadi pada 1755 lampau. Saat itu, terjadi peristiwa Perjanjian Giyanti yang memecah Dinasti Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dahulu, perpecahan (perebutan kekuasaan) selalu dikaitkan dengan politik memecah belah atau devide et impera penjajah Belanda yang ingin menancapkan kekuasaan di Tanah Jawa. Namun, saat ini sulit dipungkiri, perpecahan didorong nafsu berkuasa para elit Kasunanan Surakarta.
Menurut beberapa kalangan, rebutan tahta ini sebenarnya tak akan terjadi kalau saja Paku Buwono XII mengangkat permaisuri. Sehingga, secara langsung putra mahkota adalah anak sulung dari permaisuri. Namun, semasa hidupnya, Paku Buwono XII hanya memiliki garwa ampil atau selir dengan 37 anak. Sejarawan Sumanto dalam suatu kesempatan mengatakan, alasan Paku Buwono XII tidak berpermaisuri bisa jadi karena Kasunanan Surakarta lebih berfungsi sebagai wilayah kebudayaan. Di luar kompleks keraton, kekuasaan raja tidaklah dominan.
KGPH Hangabehi adalah putra tertua Paku Buwono XII dari selir ketiga Gusti Raden Ayu (GRAy) Pradapaningrum. Karena itulah, Hangabehi merasa dirinyalah yang berhak memangku tahta kerajaan. Sementara itu, keluarnya Surat Keputusan Nomor Kep/01/2003 dari tiga pengageng, yakni Pengageng Parentah Keraton, Pengageng Putrasentana, dan Pengageng Parentah Kaputren, mengangkat KGPH Tedjowulan sebagai penerus tahta kerajaan Keraton Surakarta.Menurut versi KGPH Hangabehi, kapasitasnya sebagai putra lelaki tertua, berhak menjadi pengganti Paku Buwono XII. Karena menurut pandangan pihak Hangabehi, jika tidak ada putra mahkota atau putra yang ditunjuk secara langsung oleh raja pendahulu, maka putra lelaki tertualah yang berhak menjadi raja.
Di sisi lain KGPH Tedjowulan juga menganggap memiliki hak yang sama, karena telah diangkat oleh tiga pengageng Keraton. Menurut pandangan pihak Tedjowulan, bila tidak ada putra mahkota, maka tiga lembaga resmi keraton inilah yang berhak menentukan pengganti raja.
Siapapun elit yang nantinya terpilih akan mendapatkan tugas bagaimana mempertahankan keraton untuk tetap eksis di tengah-tengah masyarakat, karena untuk bisa diterima eksistensinya harus bisa mengikuti perkembangan-perkembangan terbaru yang ada pada masyarakat tetapi di sisi yang lain juga harus bisa mempertahankan tradisi budaya yang ada pada keraton.
2. Rutinitas Atribut
Pola rekrutmen elit kasunanan atau kasultanan untuk menduduki pengurus di level tersebut terkesan mengejar syarat bukan untuk mendapatkan kualitas.
Kualitas dan kapabilitas lembaga ini dinilai oleh banyak kalangan belum berjalan secara optimal.
Pangkal persoalan dari rangkaian panjang tersebut sebenarnya adalah pada rekrutmen elit. Kualitas elit kasunanan maupun kasultanan sangat ditentukan dengan bagaimana mekanisme rekrutmen. Bentuk rekrutmen dipengaruhi oleh Raja. Namun, apapun sistemnya rekrutmen dari partai politik tidak akan lepas dari dua proses, yaitu; menyusun kriteria yang akan menjadi kualifikasi untuk melakukan rekrutmen dan bagaimana meknisme rekrutmen yang akan dilakukan.Kriteria atau kualifikasi disusun berbentuk aturan atau persyaratan. Berkaitan dengan pencalonan elit, setidaknya ada kualifikasi yang harus dipenuhi, yaitu kualifikasi yang ditetapkan oleh kasunanan maupun kasultanan.
3. Hilangnya kepercayaan
Masyarakat umum lebih mempercayai pemerintahan modern yakni pemerintahan NKRI dalam mengurusi kepemerintahan Negara ini, karena pemerintahan kasunanan hanya terbatas mengurusi urusan dalam keratin saja dan untuk urusan di luar keraton tidak banyak member pengaruh. Hal ini akan berdampak pada eksistensi keraton di mata masyarakat yang notabene bisa sebagai factor penyokong tetap berdirinya para elit keraton itu sendiri.
4. Terputusnya Generasi
Terputusnya generasi ini terjadi ketika raja yang terdahulu tidak memiliki permaisuri yang mana, aturan dalam keraton jika raja yang terdahulu meninggal akan digantikan oleh putra raja. Tetapi ketika putra rajanya tidak ada akan terjadi perebutan tahta yang akan berakibat munculnya konflik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar